Senin, 24 Desember 2018

Celaan Manusia Terhadap Nafsu..

Hasil gambar untuk  penyesalan

Surat al-Qiyâmah diturunkan Allah di Makkah setelah surat al-Qâri’ah[1]. Tema besar surat ini mengungkapkan kedahsyatan hari kiamat. Menggambarkan suasana yang sangat mengerikan dan menegangkan bagi siapa saja. Terlebih saat manusia dibangkitkan. Hal ini sekaligus sebagai jawaban bagi orang –orang yang mengingkari dan mendustakannya [2]. Ayat pertama surat ini yang sangat menyentak “Aku bersumpah demi hari kiamat”. (QS.75: 1). Pada ayat ini Allah menggunakan “lâ nafi lil qasam” yaitu menguatkan sumpah dengan cara menafikannya. Tujuannya untuk mengcounter pengingkaran orang-orang kafir [3].


Mengapa Allah perlu bersumpah? Hal ini menunjukkan betapa pentingnya hari kiamat. Hari kebangkitan yang pasti terjadi itu masih saja banyak yang mengingkarinya. Dan pada hari kebangkitan itu nantinya semua manusia akan menyesali dirinya. Jika ia telah berbuat baik, maka ia menyesal mengapa tak menambah amal baiknya. Apalagi jika ia berlaku buruk, ia akan sangat menyesal. Karena semua kebenaran saat itu benar-benar terungkap. Cobalah kita renungi ayat berikutnya, “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. (QS.75: 2)
Dan sangat mengherankan jika manusia meragukan atau bahkan mengingkari hari penentuan itu, “Apakah manusia mengira bahwa kami tidak mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya?”. (QS.75: 3). Kelak akan Allah susun lagi bagian-bagian tubuhnya hingga sempurna . “Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna”. (QS. 75: 4). Sayangnya, justru kebanyakan manusia memperturutkan hawa nafsunya. Kemudian memperbanyak maksiat serta menunda-nunda taubat. Tak segan-segan ia menantang Allah dan mengatakan, “Bilakah hari kiamat itu?”. (QS.75: 6)
Hari Kiamat yang Sesungguhnya
Saat hari kiamat datang. Sulit untuk dibayangkan apa yang terjadi pada alam semesta. “Maka apabila mata terbelalak (ketakutan). Dan apabila bulan telah hilang cahayanya. Dan matahari dan bulan dikumpulkan”. (QS. 75:  7-9). Mungkin saat itu orang-orang yang mengingkarinya baru benar-benar percaya dan ia benar-benar menyesal. Bahkan ia pun kebingungan apa yang harus dilakukannya. Berlari, ke manakah tempat berlari. “Pada hari itu manusia berkata: “Ke mana tempat berlari?” Sekali-kali tidak ada tempat berlindung! Hanya kepada Tuhanmulah pada hari itu tempat kembali”. (QS. 75: 10-12) Hari yang lari tak bermanfaat dan tak bisa membantu menyelamatkan orang-orang yang mengingkarinya. Tidak juga ditemukan persembunyian yang benar-benar bisa dijadikan tempat berlindung [4].
Pada hari itu diberikan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya. Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya”. (QS.75: 13-15)
Di hari pengadilan Sang Maha Adil itu, tak ada seorang pun yang bisa memungkiri dirinya sendiri. Karena seluruh anggota tubuhnya menjadi saksi atas segala sesuatu yang diperbuatnya. “Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan [5]”. Maka apapun alasannya tak akan mampu meringankan keputusan yang Allah jatuhkan padanya. Karena pada tabiatnya manusia sangat menyukai alasan demi menutupi kesalahan dan keburukan yang dilakukannya untuk membela dirinya
Padahal sesungguhnya manusia telah dibekali akal untuk berpikir. Juga hati yang jernih untuk dimintai pertimbangan. Senada dengan petuah bijak dari seorang ahli hikmah dari Asia tengah; al-Hakim at-Tirmidzi, ‘’Hari yang segala alasan menjadi tak berguna. Karena manusia telah dibekali dengan bashirah. Tapi ia menjadi buta karena hawa nafsunya. Padahal bashirah itu sebenarnya tahu bahwa ia takkan mampu mengingkari Tuhannya kalaulah tidak tertutup oleh nafsu’’. (QS. 24: 24).
Islam mengajarkan keyakinan terhadap hari akhir dan hari pembalasan. Islam menanamkan prinsip bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Kematian bukanlah akhir segalanya. Bahkan, kematian adalah awal hidup abadi yang sebenarnya, di negeri akhirat. Surga atau neraka, itulah tempat tinggal terakhir bagi setiap manusia.
Tingkah laku di dunia harus kita pertanggung-jawabkan, ketika telah tiba masa hisab. Perbuatan baik, perbuatan buruk, semuanya.
Dalam Islam, keyakinan terhadap hari akhir merupakan salah satu rukun iman. Berbekal iman tersebut, seorang muslim dituntut untuk berpacu agar memanfaatkan hidup – yang cuma sekali ini – sebaik-baiknya.
Hidup di dunia ini ibarat masa menanam, dan hidup di akhirat adalah masa menuai. Kalau tidak maksimal menanam kebaikan, bagaimana mungkin bisa menuai kebahagiaan?
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاً وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُون
Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian dengan sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minun: 115)

Penyesalan…[6] 

Satu rasa yang tidak ada lagi gunanya pada hari kiamat. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Apakah itu bisa berguna … pada hari setiap orang hanya bisa menuai, tak lagi mampu menanam?
Dalam Al-Quran, disebutkan beberapa bentuk penyesalan manusia. Kali ini akan kita simak bentuk sesal dengan lafal “layta” (لَيْتَ). Dalam bahasa Arab, ungkapan “layta” menunjukkan angan-angan yang mustahil tercapai.

1. Andaikan kami taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata, ‘Alangkah baiknya andaikan kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.” (QS. Al-Ahzab: 66)
2. Andaikan kitabku ini tidak diberikan kepadaku.
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيهْ
Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata, ‘Duhai, alangkah baiknya andaikan tidak diberikan kepadaku kitabku (ini).‘” (QS. Al-Haqqah: 25)
يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ
Duhai, andaikan kematian itu menyelesaikan segala sesuatu.” (QS. Al-Haqqah: 27)
مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيهْ
Hartaku tidak memberi manfaat kepadaku sama sekali.” (QS. Al-Haqqah: 28)
هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيهْ
Telah hilang kekuasaanku dariku.” (QS. Al-Haqqah: 29)

3. Andaikan dahulu aku hanyalah tanah.
إِنَّا أَنذَرْنَاكُمْ عَذَاباً قَرِيباً يَوْمَ يَنظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنتُ تُرَاباً
Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (wahai orang kafir) tentang siksa yang dekat, pada hari manusia melihat segala hal yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata, ‘Alangkah baiknya andaikan dahulu aku hanyalah tanah.’” (QS. An-Naba: 40)

4. Andaikan dahulu aku mengerjakan amal shalih.
يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
Dia mengatakan, ‘Alangkah baiknya andaikan aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini.’” (QS. Al-Fajr: 24)

5. Andaikan aku tidak menjadikannya teman akrab
يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَاناً خَلِيلاً
Kecelakaan besarlah bagiku; andaikan aku (dahulu) tidak menjadikan si dia itu teman akrab-(ku).” (QS. Al-Furqan: 28)
لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنسَانِ خَذُولاً
Sesungguhnya dia telah menyesatkanku dari Al-Quran ketika Al-Quran itu telah datang kepadaku. Setan itu tidak mau menolong manusia.” (QS. Al-Furqan: 29)

Itulah sederet penyesalan pada hari akhir. Yang tidak mampu membuat waktu berjalan mundur. Yang sudah terlambat.
Mari berubah, sebelum penyesalan tidak lagi berguna.
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : أخذ رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم بمنكبي فقال : كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل ] وكان ابن عمر رضي الله تعالى عنهما يقول : إذا أمسيت فلا تنتظر الصباح وإذا أصبحت فلا تنتظر المساء وخذ من صحتك لمرضك ومن حياتك لموتك رواه البخاري
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma; beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memegang pundakku seraya bersabda, “Jadilah – di dunia ini – layaknya orang asing atau pengembara.”
Lalu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Jika engkau berada pada waktu sore maka jangan menunggu hingga pagi, dan jika engkau berada pada waktu pagi maka jangan menunggu hingga sore. Manfaatkan masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Manfaatkan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al-Bukhari)
**

Catatan Kaki:
[1]  Imam Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulumi Al-Quran, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hal.22, dan lihat Imam Badruddin az-Zarkasyi, al_Burhan fi Ulumi Al-Quran, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.I, hal 249
[2] Prof Dr. Jum’ah Ali Abd Qader, Ma’âlim Suar Al-Quran, Cairo: Universitas Al-Azhar, Cet.I, 2004 M/1424 H, Vol.2, hal .732
[3]  Lihat: Abu Zakaria al-Farrâ, Ma’aniy Al-Quran, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Cet.I, 2002 M/1423 H, Vol.III, hal.100, juga lihat: Imam az-Zamakhsyary, al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iqu at-Tanzil, Cairo: Maktabah Musthafa al-Halaby, Cet.I, 1354 H, Vol.IV, hal.163
[4]  Imam al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkami Al-Quran Cairo: Darul Hadits, 2002 M / 1422 H, Vol.X, hal.83
[5]  Imam al-Hakim at-Trimidzi, Nawadir al-Ushul fi Ma’rifai Ahadits ar-Rasul, Cairo: Dar ar-Rayyan, Cet.I, 1988 M / 1413 H, Vol.2, hal.457
[6]  Penulis: Ummu Asiyah Athirah Mustadjab, Pemurojaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Sumber : https://www.dakwatuna.com/, https://muslimah.or.id/

Minggu, 16 Desember 2018

Al Qur`an Menurut Pandangan Lima Firqah

AL-QUR’AN MENURUT PANDANGAN LIMA FIRQAH
Oleh
Dr. ‘Afaf binti Hasan bin Muhammad Mukhtar
Al Qur`an, adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salllam sebagai mukjizat bagi beliau, yang dibaca untuk ibadah. Setelah munculnya ahli bid’ah dengan segala sepak-terjangnya yang keliru dalam memandang al Qur`an, maka Ahli Sunnah wal Jama’ah merasa perlu mendefiniskan al Qur`an, sehingga ‘aqidah mereka tentang al Qur`an berbeda dengan pandangan ahli bid’ah.
Ahli Sunnah wal Jama’ah meyakini, al Qur`an adalah Kalamullah. Berasal dari Allah, berupa perkataan tanpa dapat diketahui caranya. Al Qur`an diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Sebagai Kalamullah, maka al Qur`an bukan makhluk, tidak seperti halnya ucapan manusia. Barangsiapa mendengar al Qur`an dan menyangkanya sebagai perkataan manusia, sungguh ia telah kafir. [1]
Ahli Sunnah wal Jama’ah menjadikan Kitabullah dan wahyu dari-Nya sebagai landasan utama dalam menetapkan ‘aqidah dan dalam pengambilan dalil. Tidak ada masalah ‘aqidah atau masalah lain yang mempunyai dalil dari Kitabullah, kecuali mereka menyampaikannya, mengutamakan di atas segalanya, dengan mengagungkan Kalamullah dan bergantung kepadanya. Tidak bertumpu kepada manusia yang lemah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata. [al Ahzab/33:36].
Aspek lain yang membuat mereka memberi perhatian sangat besar kepada al Qur`an, karena Allah telah memudahkan al Qur`an untuk dipahami. Tidak ada ayat-ayat yang sulit dipahami. Juga tidak ada ungkapan yang janggal di dalamnya. Al Qur`an tidak memuat sesuatu yang ditolak oleh akal dan pikiran yang sehat. Tidaklah mustahil siapa pun dapat menguasainya, karena kandungan al Qur`an dapat dijangkau kemampuan akal manusia. Tidak menjadi monopoli segelintir orang, atau strata tertentu saja. Di dalam al Qur`an tidak ada kata-kata yang mengandung teka-teki atau rahasia. Setiap orang dapat menguasai sesuai dengan kemampuannya.
Ini berbeda dengan kebohongan yang digulirkan ahli bid’ah. Mereka beranggapan, adanya kontradiksi antara akal dengan naql. Berkaitan dengan kedudukan al Qur`an ini, berikut kami paparkan pandangan beberapa firqah dalam menempatkan al Qur`an pada diri mereka. Tulisan ini bersumber dari Tanaqudhi Ahlil-Ahwa wal-Bida’i fil ‘Aqidah, karya Dr. ‘Afaf binti Hasan bin Muhammad Mukhtar, Cetakan I, Th. 1421H/ 2000M, Penerbit Maktabah Rusyd, Riyadh.
GOLONGAN KHAWARIJ
Firqah Khawarij, sesungguhnya mengagungkan al Qur`an dan berkeinginan mengikuti kandungannya. Akan tetapi, jika melihat keberadaan mereka, ternyata sangat jauh dari angan-angan. Mereka tidak mengaplikasikannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pemikiran mereka adalah mengagungkan al Qur`an dan ingin mengikutinya. Hanya saja, mereka keluar dari lingkaran Ahli Sunnah wal-Jama’ah. Mereka tidak mengikuti Sunnah yang dianggap menyelisihi al Qur`an. Misalnya, seperti hukum rajam dan nishab pencurian”.
Mereka mengakui keberadaan al Qur`an dan hujjahnya, tetapi tidak memahami layaknya generasi Salafush-Shalih. Dari sinilah kesesatan mereka bermula. Mereka, seperti diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, mengikuti ayat-ayat mutasyabih dan mentakwilkannya, padahal tidak mengerti maknanya, tidak memiliki ilmu yang luas, tidak mengikuti Sunnah, dan juga tidak mengikuti pemahaman Salafush-Shalih dalam memahami al Qur`an.
Sangat jelaslah pendirian mereka, yaitu tidak menjadikan al Qur`an sebagai hujjah sebagaimana menurut cara yang shahih (dibenarkan). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan tentang keberadaan mereka: “(Mereka) membaca al Qur`an, tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Keluar dari Islam, seperti melesatnya anak panah (menembus) sasaran”.
Hadits ini menjelaskan, mereka membaca al Qur`an, namun tidak mengamalkan ajaran-ajarannya.
GOLONGAN SYI’AH
Pendirian Syi’ah terhadap al Qur`an sudah diketahui, yaitu meyakini bahwa al Qur`an telah mengalami tahrif (perubahan), baik dengan penambahan ataupun pengurangan. Oleh karenanya, mereka tidak memandang al Qur`an sebagai hujjah.
Bukit-bukti yang menunjukkan pandangan mereka seperti itu, dapat disaksikan dalam kitab-kitab karangan para ulama penganut Syi’ah. Misal, coretan dalam kitab al Kafi, yang mereka angkat selevel dengan Shahih Bukhari.
Kaum Syi’ah menukil pernyataan yang dinisbatkan kepada Ja’far ash Shadiq:[2] “Kami mempunyai Mush-haf Fathimah[3] . Apa yang mereka ketahui tentang Mush-haf Fathimah? Mush-haf Fathimah, (besarnya) seperti al Qur`an kalian tiga kali lipat. Tidak ada satu huruf pun dari al Qur`an kalian yang ada di sana”.[4]
Jadi menurut Syi’ah, al Qur`an yang berada di tangan kaum Muslimin saat ini, sudah tidak otentik lagi, kecuali yang berasal dari riwayat imam-imam mereka. Bahkan untuk menguatkan klaim, mereka pun membuat periwayatan untuk menyokong kedustaan yang mereka buat.
Misalnya, diriwayatkan dari Jabir,[5] ia berkata: Aku mendengar Abu Ja’far al Baqir ‘alaihis salam berkata: “Tidak ada seorang pun yang mengaku telah menghimpun al Qur`an secara keseluruhan sebagaimana diturunkan, selain ia seorang pendusta. Tidak ada seorang yang berhasil menghimpun dan memeliharanya sebagaimana diturunkan oleh Allah, kecuali Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam dan para imam sepeninggalnya”.[6]
KALANGAN QADARIYAH (MU’TAZILAH)
Secara global, kalangan Qadariyah memasukkan al Qur`an sebagai bagian dari dalil-dalil prinsip mereka. Hanya saja, mereka memandang kepastian hukum dan petunjuk yang akurat, lebih menggunakan akal. Menurut pemikiran Qadariyah, akal sajalah yang mengantarkan seseorang menjadi memiliki keyakinan dan hasil yang shahih.
Salah seorang tokoh Qadariyah, yaitu al Jahizh[7] berkata: “Tidak ada hukum yang pasti, melainkan milik akal. Dan tidak ada penjelasan yang shahih, selain milik akal.”[8]
Oleh karena itu, mereka mempunyai empat jenis pegangan, yaitu akal, al Qur`an, Sunnah dan Ijma’. Dalam hal ini, mereka lebih mendahulukan nalar (akal) ketimbang al Qur`an dan Sunnah. Ini merupakan bukti kepuasaan mereka dengan kaidah yang mengatakan, bergantung kepada akal pikiran lebih kuat dan utama daripada berlandaskan syari’at, yang nash-nashnya tidak menghasilkan keyakinan dan ilmu yang pasti. Mereka mendewakan akal pikiran dan meyakini, bahwa manusia dapat mengenal Allah dan hikmah-Nya melalui akal semata. Bahkan Ibrahim Nazhzham, salah seorang pentolan Mu’tazilah berkata: “Sesungguhnya kekuatan hujjah akal terkadang dapat menghapuskan nash-nash (hukum)”.[9]
Dengan demikian, dapat diketahui apresiasi mereka dalam menempatkan al Qur`an. Yaitu, mereka mendahulukan akal sebagai rujukan utama, setelah itu menempatkan al Qur`an sebagai sumber berikutnya.
KELOMPOK MURJI’AH
Murji’ah juga menduhulukan akal ketimbang nash (naql). Menurut mereka, akal menjadi sumber untuk mengetahui dalam masalah ‘aqidah. Ringkasnya, mereka menggantungkan kepada apa yang dihasilkan oleh akal pikiran, dan antipati dengan al Qur`an dan Sunnah. Atau memaksakan al Qur`an dan Sunnah untuk tunduk dengan argumentasi yang mereka bawa.
Pandangan seperti ini, telah mendorong mereka untuk menetapkan akal sebagai tumpuan memahami nash-nash syari’at. Padahal, mereka hanya menerjemahkannya sebatas kemampuan yang dimiliki akal mereka, namun tetap menjadikannya sebagai dasar hukum pada segala aspek.
Apabila terjadi kontradiksi antara dalil syar’i dengan akal, maka mereka memenangkan akal. Akhirnya, mereka melakukan takwil yang kemudian menjadi ciri khas kelompok Murji’ah ini.
Ibnu Qutaibah rahimahullah mengatakan, bahwa para ahli kalam memegangi pandangan-pandangan yang mereka yakini dengan dasar akal mereka. Setelah itu baru membaca-baca al Qur`an. Jika (kandungan ayat) bertentangan dengan qiyas atau bertolak belakang dengan kaidah yang sudah mereka bakukan, maka mereka pun mencari-cari takwil yang tidak etis, lagi sangat jauh dari maksud yang benar. [10]
KELOMPOK JAHMIYAH
Sikap Jahmiyah sama dengan kelompok Murji’ah dalam memandang al Qur`an, yaitu lebih mendahulukan akal daripada naql. Akal dijadikan sebagai asas dan landasan utama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, Jahmiyah dan orang-orang yang berpikiran seperti mereka dari kalangan Asy’ariyah dan lainnya, mengatakan tidak sah beristidlal (berdalil) dengan al Qur`an mengenai ilmu Allah, kekuasaan-Nya, beribadah kepada-Nya, dan tentang Allah beristiwa di atas Arsy.[11]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Syarhul-‘Aqidatith-Thahawiyah.
[2]. Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, adalah seorang dari kalangan Tabi’in. Kaum Rafidhah (Syi’ah) mencatutnya sebagai salah satu dari imam dua belas mereka. Banyak ucapan kotor dan kufur yang dialamatkan kepadanya oleh Syi’ah. Padahal, beliau sangat murka dan membuka kedok kebusukan mereka. Biografi ringkasnya pernah kami angkat dalam Majalah As-Sunnah, Edisi 05/Tahun IX/ Rubrik Syakhshiyah, dengan judul Imam Ja’far ash Shadiq, Imam Ahli Sunnah, Bukan Milik Syi’ah.
[3]. Fathimah az-Zahra adalah putri Rasulullah.
[4]. Diriwayatkan al Kulaini dalam al Kafi, salah satu kitab Syi’ah.
[5]. Jabir bin Yazid al Ju’fi Abu Abdillah al Kufi dari kalangan ulama Syi’ah Rafidhah. Dia termasuk pembohong besar. Syi’ah menganggapnya seorang perawi terkenal di kalangan mereka. Para ulama hadits dari Ahli Sunnah tidak menoleh kepada riwayat-riwayatnya, karena adanya faktor kedustaan yang melekat pada dirinya. Lihat Taqribut-Tahdzib, hlm. 137.
[6]. Al Kafi (5/360). Sudah tentu perkataan ini merupakan dusta.
[7]. Dia adalah ‘Amr bin Mahmub Abu Utsman al Jahizh al Bashri al Mu’tazili. Para pengagumnya tertipu dengan kepiawaiannya dalam sastra Arab, sehingga kesesatannya tertutup dari pandangan mereka.
[8]. Risalah at-Tarbi’ wat-Tadwir karyanya, hlm. 14.
[9]. Syarhul-Ushilil-Khamsah.
[10]. Lihat penjelasan ini di dalam kitab al Ikhtilaf fil-Lafzhi war-Raddi ‘alal-Jahmiyah wal-Musyabbihah, karya Ibnu Qutaibah, hlm. 15.
[11]. Qaidah fil-Mu’jizat wal-Karamat.


Sumber:
 https://almanhaj.or.id/3523-al-quran-menurut-pandangan-lima-firqah.html

Jangan Gadaikan Akidahmu

Sahabat sekalian, pasti pernah dengar apa yang namanya Ramalan Zodiak atau Horoskop. Ramalan singkat yang berisi tentang kehidupan pribadi, asmara, karir, keuangan, ataupun yang lainnya. Zodiak atau horoskop ini biasanya muncul di majalah-majalah, layanan SMS, atau pun ramalan sejenis muncul sebagai aplikasi-aplikasi yang tersebar di sosial media. Tahukah sahabat bahwa ramalan ini dilarang keras dalam islam?
“Tapi saya hanya iseng, ga betul-betul percaya ko..” Mungkin sebagian kita hanya berdalih iseng, cuma baca-baca tidak percaya terhadap isinya.
Tahukah sahabat, sekalipun hanya membaca dan tidak mempercainya, itu sudah termasuk dosa yang besar. Ancamannya adalah sholatnya selama 40 hari tidak Allah ta’ala terima.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” (HR. Muslim no. 2230)
Dan lebih parah lagi jika ia membenarkan apa yang dikatakan oleh ramalan tersebut. Maka ia terjatuh dalam kekufuran.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia membenarkannya, maka ia berarti telah kufur pada Al Qur’an yang telah diturunkan pada Muhammad.” (HR. Ahmad no. 9532, hasan)
Syaikh Sholih Alu Syaikh hafizhohullah mengatakan, “Jika seseorang membaca halaman suatu koran yang berisi zodiak yang sesuai dengan tanggal kelahirannya atau zodiak yang ia cocoki, maka ini layaknya seperti mendatangi dukun. Akibatnya cuma sekedar membaca semacam ini adalah tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. Sedangkan apabila seseorang sampai membenarkan ramalan dalam zodiak tersebut, maka ia berarti telah kufur terhadap Al Qur’an yang telah diturunkan pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (At Tamhid Lisyarh Kitabit Tauhid, Syaikh Sholih Alu Syaikh Bab “Maa Jaa-a fii Tanjim”)
Semoga Alloh ta’ala mengampuni dosa-dosa kita dan menjaga kita dari hal-hal yang dapat merusak akidah kita.
Sebarkan jika Anda menyukai tulisan ini, insya Alloh pahala besar menanti Anda.
Sumber: https://elsunnah.wordpress.com

Adab Terhadap Al-Qur’an

ADAB TERHADAP AL-QUR’AN
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Seorang Mukmin meyakini bahwa al-Qur’ân adalah kalâm (perkataan; ucapan) Allah Azza wa Jalla . Huruf dan maknanya bukanlah makhluk, serta diturunkan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad n . Al-Qur’ân adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur’ân adalah sebaik-baik dan sebenar-benar perkataan, tidak ada kedustaan padanya, baik pada saat diturunkan maupun sesudahnya. Barangsiapa berkata berdasarkan al-Qur’ân, maka perkataannya benar; dan barangsiapa menghukumi dengannya, maka hukumnya adil. Barangsiapa mengikutinya, ia akan menuntun menuju surga, dan barangsiapa membelakanginya, ia akan menyeretnya menuju neraka.
Oleh karena itu, seorang Muslim yang baik selalu beradab terhadap al-Qur’ân dengan adab-adab yang utama, di antaranya:
1. IMAN KEPADA AL-QUR’AN
Ini adalah adab dan kewajiban terbesar. Beriman kepada al-Qur’ân artinya meyakini segala beritanya, mentaati segala perintahnya, dan meninggalkan segala larangannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. [an-Nisâ’/4:136]
Ini adalah perintah Allah Azza wa Jalla kepada orang-orang yang beriman untuk meluruskan iman mereka, yaitu dengan keikhlasan dan kejujuran iman, menjauhi perkara-perkara yang merusakkan iman, dan bertaubat dari perkara-perkara yang mengurangi nilai iman. Demikian juga agar mereka meningkatkan ilmu dan amalan keimanan. Karena, setiap nash yang tertuju kepada seorang Mukmin, lalu dia memahami dan meyakininya, maka itu termasuk iman yang wajib. Demikian juga seluruh amalan yang lahir dan batin termasuk iman, sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash yang banyak dan disepakati oleh Salafush Shalih.
Di sini terdapat perintah untuk beriman kepada Allah Azza wa Jalla , Rasul-Nya, al-Qur’ân, dan kitab-kitab terdahulu. Beriman kepada hal-hal di atas hukumnya wajib dan seorang hamba tidak menjadi orang yang beriman kecuali dengannya, yaitu beriman secara menyeluruh dalam perkara yang perinciannya tidak sampai kepadanya, dan secara rinci dalam perkara yang perinciannya sudah sampai kepadanya. Maka barangsiapa beriman dengan keimanan ini, dia telah mengikuti petunjuk dan sukses.[1]
2. TILAWAH (QIRA’ATUL QUR’AN)
Sesungguhnya membaca al-Qur’ân merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung. Banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits shahîh yang menunjukkan hal ini. Namun sayang, banyak umat Islam di zaman ini yang lalai dengan ibadah ini, baik karena sibuk dengan urusan dunia, karena lupa, atau lainnya. Ketika seseorang mendapatkan kiriman surat dari saudaranya, kawannya, keluarganya, atau kekasihnya, dia akan bersegera membukanya karena ingin mengetahui isinya. Namun, bagaimana bisa seorang Muslim tidak tergerak untuk membaca surat-surat al-Qur’ân yang datang dari penciptanya, padahal surat-surat al-Qur’ân itu semata-mata untuk kebaikannya?
Sebagian orang membaca al-Qur’ân, tetapi dengan tergesa-gesa atau dengan cara yang cepat, seolah-olah sedang diburu musuh! Padahal Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kita agar membaca al-Qur’ân dengan tartîl (perlahan-lahan). Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
Dan bacalah al-Qur`ân itu dengan perlahan-lahan. [al-Muzammil/73:4]
Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendorong umatnya untuk giat membaca al-Qur’ân dan menerangkan besarnya pahalanya. Maka, siapakah yang akan menyambutnya? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka dia mendapatkan satu kebaikan dengannya. Dan satu kebaikan itu (dibalas) sepuluh lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Tetapi alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf.” [2]
Mungkin banyak di antara kita telah mengetahui pahala membaca al-Qur’ân ini. Namun, siapa di antara kita yang selalu berusaha mengamalkannya? Karena tujuan belajar, bukan hanya untuk pengetahuan saja, akan tetapi tujuannya yang tertinggi adalah untuk diamalkan.
Demikian juga dianjurkan untuk membaca al-Qur’ân dengan berjama’ah, yaitu satu orang membaca sedangkan yang lain mendengarkan, sebagaimana kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah ada sekelompok orang yang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan belajar bersama di antara mereka, melainkan ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya”. [3]
3. MEMPELAJARI DAN TADABBBUR (MEMPERHATIKAN)
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menurunkan al-Qur’ân antara lain dengan hikmah agar manusia memperhatikan ayat-ayatnya, menyimpulkan ilmunya, dan merenungkan rahasianya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang penuh dengan berkah, Kami turunkan kepadamu supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. [Shâd/38:29]
Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: “Ini menunjukkan bahwa seukuran fikiran dan akal seseorang, dia akan medapatkan pelajaran dan manfaat dengan kitab (al-Qur’ân) ini”.[4]
Bahkan Allah Azza wa Jalla menantang orang-orang kafir untuk mencari-cari kesalahan al-Qur’ân, jika mereka meragukan bahwa al-Qur’ân datang dari sisi Allah Azza wa Jalla !
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka, apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`ân? kalau kiranya al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [an-Nisâ’/4:82]
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa sebaik-baik orang dari umat ini adalah orang yang mempelajari al-Qur’ân dan mengajarkannya. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah ini:
عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Dari Utsman, Nabi bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-Qur’ân dan mengajarkannya”.[5]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “Ini adalah sifat orang-orang Mukmin yang mengikuti para Rasul. Mereka adalah orang-orang yang sempurna pada diri mereka dan menyempurnakan orang lain. Dan itu menggabungkan kebaikan untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Ini kebalikan sifat orang-orang kafir yang banyak berbuat kezhaliman. Mereka tidak memberikan manfaat kepada orang lain dan tidak membiarkan orang lain mendapatkan manfaat. Mereka melarang manusia mengikuti al-Qur’ân dan mereka sendiri mendustakan dan menjauhinya.”[6]
4. ITTIBA’ (MENGIKUTI)
Setiap orang sangat membutuhkan rahmat Allah Azza wa Jalla . Namun, apa sarana untuk meraih rahmat-Nya? Mengikuti al-Qur’ân itulah cara mendapatkan rahmat Allah Azza wa Jalla , sebagaimana firman-Nya:
وَهَٰذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan al-Qur`ân itu adalah kitab yang Kami turunkan, yang diberkati, maka ikutilah ia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat. [al-An’âm/6:155]
Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan kebaikan yang besar bagi orang yang mengikuti kitab-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
Allah berfirman: “Jika datang kepada kamu petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. [Thâha/20: 123]
Sebaliknya, Allah Azza wa Jalla juga memberi ancaman berat bagi orang yang berpaling dari kitab-Nya:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا ۖ وَكَذَٰلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَىٰ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِآيَاتِ رَبِّهِ ۚ وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَىٰ
Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, namun kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”. Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat rabbnya. Sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.[Thâha/20:124-127]
5. BERHUKUM DENGAN AL-QUR’AN
Sesungguhnya kewajiban pemimpin umat adalah menghukumi rakyat dengan hukum Allah Azza wa Jalla , yaitu berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah. Dan kewajiban rakyat adalah berhukum kepada hukum Allah Azza wa Jalla . Oleh karena itulah Allah Azza wa Jalla mencela dengan keras orang-orang yang ingin berhakim kepada thâghût (hukum yang bertentangan dengan hukum Allah). Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintah mengingkari thâghût itu, dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. [an-Nisâ’/4:60]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (al-Qur’ân) kepada kamu dengan terperinci. Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa al-Qur’ân itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. [al-An’âm/6:114]
Allah juga berfirman:
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’ân), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [al-An’âm/6:115]
Firman Allah ”yang benar”, yaitu di dalam berita-beritanya, ” dan adil”, yaitu di dalam hukum-hukumnya. Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin? [al-Mâidah/5:50]
6. MEYAKINI AL-QUR’AN SEBAGAI SATU-SATUNYA PEDOMAN
Allah Azza wa Jalla yang menurunkan kitab al-Qur’ân, memiliki sifat-sifat sempurna. Oleh karena itu, kitab suci-Nya juga sempurna, sehingga cukup di jadikan sebagai pedoman untuk meraih kebaikan-kebaikan di dunia dan akhirat. Demikian juga al-Qur’ân cukup sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad n sebagai utusan Allah Azza wa Jalla kepada seluruh manusia dan jin. Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَىٰ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu al-kitab (al –Qur`ân) sedang ia (al-Qur’ân) dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (al-Qur`ân) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. [al-‘Ankabût/29: 51]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Tidakkah mencukupi bagi mereka sebuah ayat (tanda kebenaran) bahwa Kami telah menurunkan kepadamu (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) sebuah kitab yang agung, yang di dalamnya terdapat berita orang-orang sebelum mereka, berita orang-orang setelah mereka, dan hukum apa yang ada di antara mereka, padahal engkau adalah seorang laki-laki yang ummi (buta huruf), tidak dapat membaca dan menulis, juga tidak pernah bergaul dengan seorang pun dari ahli kitab, kemudian engkau datang kepada mereka dengan membawa berita-berita yang ada di dalam lembaran-lembaran suci zaman dahulu, dengan menjelaskan kebenaran dari apa yang mereka perselisihkan padanya, dan dengan membawa kebenaran yang nyata, gamblang, dan terang?.” [7]
Karena wahyu Allah Azza wa Jalla sudah mencukupi sebagai pedoman, maka Allah Azza wa Jalla melarang manusia mengikuti pemimpin-pemimpin yang bertentangan dengan wahyu-Nya, Dia berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). [al-A’râf/7:3]
Oleh karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur dengan keras kepada Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu , ketika dia datang membawa naskah kitab Taurat dan membacanya di hadapan beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ بَدَا لَكُمْ مُوسَى فَاتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُوْنِيْ لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ وَلَوْ كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لاَ تَّبَعَنِيْ
Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya. Seandainya Musa muncul kepada kamu, lalu kamu mengikutinya, dan kamu meninggalkan aku, sungguh kamu tersesat dari jalan yang lurus. Seandainya Musa hidup dan mendapati kenabianku, dia pasti mengikuti aku. [HR. Ad-Dârimi, no. 435; semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, al-Baihaqi, dan Ibnu Abi ‘Ashim. Syaikh al-Albâni menghasankannya di dalam Irwâ`ul Ghalîl, no. 1589]
Inilah di antara adab-adab orang beriman terhadap kitab suci al-Qur’ân. Semoga Allah Azza wa Jalla selalu membimbing kita untuk meraih ilmu yang bermanfaat dan mampu mengamalkannya. Al-hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir Taisîr Karîmir Rahmân, surat an-Nisâ’ ayat 136, karya Syaikh `Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di
[2]. HR. Tirmidzi no: 2910, dari `Abdullâh bin Mas’ûd. Dishahîhkan Syaikh Sâlim al-Hilâli dalam Bahjatun Nâzhirîn 2/229
[3]. HR. Muslim no: 2699; Abu Dâwud no: 3643; Tirmidzi no: 2646; Ibnu Mâjah no: 225; dan lainnya.
[4]. Tafsir Taisîr Karîmir Rahmân, surat Shâd ayat 29, karya Syaikh `Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di
[5]. HR. Bukhâri, no. 5027; Abu Dâwud, no. 1452; Tirmidzi, no. 2907; dll. Lihat 205.
[6]. Kitab Fadhâilul-Qur’ân, hlm. 206, karya Imam Ibnu Katsîr, dengan penelitian dan takrîj hadits Syaikh Abu Ishâk al-Huwaini, penerbit. Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo.
[7]. Tafsir Ibnu Katsîr, surat al-‘Ankabût/29:51


Sumber: https://almanhaj.or.id/3401-adab-terhadap-al-quran.html

JADILAH AHLI AL-QUR’AN !

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Siapa tidak ingin menjadi ahli al-Qur’an? Inilah kedudukan hamba yang paling mulia dan tinggi di sisi Allâh Azza wa Jalla . Cukuplah hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini menunjukkan agungnya kedudukan ini:
Dari Anas bin Mâlik z beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ، أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ
“Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi ‘ahli’ Allâh”. Para Sahabat Radhiyallahu anhum bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Siapakah mereka?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah ahli al-Qur’an, (merekalah) ahli (orang-orang yang dekat dan dicintai) Allâh dan diistimewakan di sisi-Nya[1]
Hadits ini menunjukkan tingginya kedudukan dan kemuliaan orang-orang yang menjadi ahli al-Qur’an, karena mereka disebut sebagai ‘ahli Allâh’. Artinya merekalah para wali (kekasih) Allâh Azza wa Jalla yang sangat dekat dan istimewa di sisi-Nya, sebagaimana seorang manusia dekat dengan ‘ahli’ (keluarga)nya. Gelar ini merupakan bentuk pemuliaan dan pengagungan terhadap mereka.[2]
Keutamaan dan kemuliaan besar ini tentu menjadikan setiap orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir, berusaha untuk mengejar dan meraihnya. Apalagi Allâh Azza wa Jalla telah menjanjikan bahwa al-Qur’an akan Allâh Subhanahu wa Ta’ala jadikan mudah sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang beriman, termasuk dalam hal memahami kandungannya dan meraih kemuliaan sebagai ahlinya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk peringatan atau pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran? [Al-Qamar/54:17]
Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Makna ayat ini: Sungguh Kami telah menjadikan al-Qur’an yang mulia itu mudah, lafazhnya mudah untuk dihafalkan dan disampaikan (kepada orang lain), juga (kandungan) maknanya mudah untuk dipahami dan dimengerti. Karena al-Qur’an adalah perkataan yang paling indah lafazhnya, yang paling benar (kandungan) maknanya, dan paling jelas penafsirannya. Maka setiap orang yang menghadapkan diri (bersungguh-sungguh mempelajari)nya, Allâh Azza wa Jalla akan memudahkan baginya dan meringankannya (untuk mencapai) tujuan tersebut.
Peringatan atau pelajaran (yang dimaksud dalam ayat ini) meliputi semua bentuk peringatan atau pelajaran bagi manusia, (baik itu) berupa (penjelasan) halal dan haram, hukum-hukum perintah dan larangan, hukum-hukum balasan (ganjaran pahala atau siksaan di akhirat), nasehat-nasehat dan perenungan, keyakinan-keyakinan yang bermanfaat serta berita-berita yang benar.
Oleh karena itu, ilmu (tentang) al-Qur’an, (baik dalam hal) menghafalnya atau memahami tafsirannya, adalah ilmu yang paling mudah dan paling tinggi (kedudukannya dalam Islam) secara mutlak. Inilah ilmu yang bermanfaat, jika seorang hamba (bersungguh-sungguh) mempelajarinya maka dia akan ditolong (dimudahkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk memahaminya). Salah seorang Ulama Salaf mengomentari ayat ini dengan mengatakan, “Apakah ada orang yang (mau bersungguh-sungguh) menuntut ilmu (mempelajari al-Qur’an) sehingga Allâh Azza wa Jalla akan menolongnya?.
Oleh karena itu, Allâh mengajak (memotivasi) para hamba-Nya untuk menghadapkan diri dan (bersungguh-sungguh) mempelajari al-Qur’an, dalam firman-Nya (di akhir ayat ini):
فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
… Maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?[3]
TINGGINYA KEDUDUKAN DAN KEUTAMAAN ORANG YANG MEMAHAMI AL-QURAN
Cukuplah firman Allâh Azza wa Jalla berikut ini untuk menunjukkan betapa tinggi kemuliaan dan keutamaan orang-orang yang dianugerahi pemahaman al-Qur’an yang benar:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah, “Dengan karunia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), karunia Allâh dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia) [Yûnus/10:58]
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla memerintahkan orang-orang yang beriman agar mereka merasa bangga (gembira dan bahagia) dengan anugerah yang Allâh Azza wa Jalla limpahkan kepada mereka. Anugerah yang berupa pemahaman terhadap al-Qur’an dan kesempurnaan iman. Dan Allâh Azza wa Jalla menyatakan bahwa anugerah dari-Nya itu lebih indah dan lebih mulia dari semua kesenangan dunia yang diperebutkan oleh kebanyakan manusia. ”Karunia Allâh” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para Ulama ahli tafsir dengan “keimanan”, sedangkan “Rahmat Allâh” ditafsirkan dengan “al-Qur’an”. Keduanya (yaitu keimanan dan al-Qur-an) adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama yang benar (yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Bahkan keduanya merupakan ilmu yang paling tinggi dan amal yang paling utama.[4]
Dalam sebuah hadits yang shahih, dari ‘Utsman bin ‘Affân Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Sebaik-baik orang di antara kamu adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya (kepada orang lain)[5].
Hadits yang agung ini menunjukkan tingginya keutamaan orang yang mempelajari al-Qur’an, mempelajari cara membacanya dengan tajwid yang benar, memahami kandungannya dan berusaha menghafalnya dengan baik, kemudian mengajarkannya kepada orang lain, agar petunjuk dan kebaikan yang terkandung di dalamnya tersebar dan di amalkan manusia. Bahkan sebagian dari Ulama mengatakan bahwa barangsiapa mengikhlaskan niatnya dan selalu menyibukkan diri dengan mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya, maka termasuk ke dalam golongan para Nabi Alaihissallam (pengikut para Nabi Alaihissallam yang setia).”[6]
Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa mempelajari al-Qur’an maka akan tinggi kedudukannya.”[7]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an (dalam hadits ini) mencakup mempelajari dan mengajarkan lafazhnya, juga mempelajari dan mengajarkan kandungan maknanya.”[8]
Dan masih banyak ayat al-Qur’an dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan hal ini, cukuplah ayat dan hadits di atas sebagai contoh yang menggambarkan betapa agung kedudukan orang yang memahami al-Qur’an.
AL-QUR’AN SUMBER PETUNJUK KEBAIKAN DAN OBAT PENYAKIT HATI
Agungnya kedudukan orang yang memahami al-Qur’an, juga semakin terlihat jelas dengan merenungkan besarnya fungsi diturunkannya al-Qur’an itu sendiri, yaitu sebagai sumber petunjuk dalam kebaikan dan obat penyakit hati manusia.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat atau pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman [Yûnus/10:57]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengabarkan tentang anugerah besar yang diturunkan kepada para hamba-Nya, yaitu al-Qur’an yang mulia. Karena di dalam al-Qur’an terdapat nasehat untuk menjauhi perbuatan maksiat, penyembuh bagi penyakit hati, yaitu kelemahan iman, keragu-raguan dan kerancuan dalam memahami agama, serta penyakit syahwat yang merusak hati. Juga terdapat petunjuk, yaitu bimbingan bagi orang yang merenungkan, memahami, dan mengikuti al-Qur’an ke jalan yang bisa mengantarkannya ke surga, serta sebab-sebab untuk mendapatkan rahmat Allâh Azza wa Jalla yang terkandung di dalamnya.[9]
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar [Al-Isrâ’/17:9]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “(Dalam ayat ini) Allâh Azza wa Jalla mengabarkan tentang kemuliaan dan keagungan al-Qur’an, bahwa kitab ini memberikan petunjuk menuju (jalan) yang paling lurus dan paling mulia dalam keyakinan, amal dan akhlak. Sehingga barangsiapa mengikuti petunjuk yang diserukan dalam al-Qur’an, maka dia akan menjadi orang yang paling sempurna, paling lurus dan paling terbimbing dalam segala urusannya.”[10]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan tingginya kedudukan dan sempurnanya petunjuk al-Qur’an dalam semua kebaikan dan keutamaan. Beliau rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu kitabpun di kolong langit yang mengandung bukti-bukti dan argumentasi tentang perkara-perkara mulia yang dituntut (dalam Islam), yaitu tauhid, penetapan sifat-sifat Allâh, hari kebangkitan dan kenabian, juga sanggahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang dan pemikiran-pemikiran yang rusak, tidak ada satupun yang seperti al-Qur’an. Sesungguhnya al-Qur’an menjamin dan menanggung semua itu dalam bentuk yang paling baik dan sempurna, paling masuk akal, serta paling jelas penjabarannya. Maka al-Qur’an merupakan obat penyembuh yang sejati bagi penyakit-penyakit syubhat (kerancuan dalam memahami Islam) dan keragu-raguan.
Namun, semua itu bergantung pada pemahaman dan penghayatan terhadap kandungan makna al-Qur’an. Barangsiapa dinugerahkan oleh Allâh Azza wa Jalla hal itu, maka dia akan dapat memandang (dan dapat membedakan) kebenaran dan kebatilan secara jelas dengan hatinya, sebagaimana dia bisa memandang (dan bisa membedakan dengan jelas) siang dan malam hari.”[11]
SYARAT MENDAPATKAN MANFAAT DARI PETUNJUK AL-QUR’AN
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika kamu ingin mendapatkan manfaat dari (petunjuk) al-Qur’an, maka pusatkanlah hatimu ketika membaca dan menyimaknya, fokuskanlah pendengaranmu, serta hadirkanlah dirimu sebagaimana hamba Allâh (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang menerima al-Qur’an ini  menghadirkan dirinya (ketika diturunkan al-Qur’an kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena sesungguhnya al-Qur’an ini (sejatinya) merupakan petunjuk bagimu dari Allâh melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam”[12]
Petunjuk dan manfaat al-Qur’an sebagai nasehat dan peringatan, hanya akan Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada hamba-Nya yang memiliki hati yang hidup (sehat dan jauh dari kotoran penyakit hati) dan terbuka untuk menerima petunjuk-Nya. Sebagaimana makna firman-Nya:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu (kisah-kisah dalam al-Qur’an) benar-benar terdapat peringatan (pelajaran) bagi orang-orang yang mempunyai hati (yang hidup/bersih) atau yang mengkonsentrasikan pendengarannya, sedang dia menghadirkan (hati)nya [Qâf/50:37]
Juga firman-Nya:
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ ﴿٦٩﴾ لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ
al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir [Yâsîn/36:69-70]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan hati (dalam ayat) ini adalah hati yang hidup (bersih dari noda syahwat atau syubhat) yang bisa memahami (peringatan atau petnjuk) dari Allâh.”[13]
Oleh karena itu, upaya untuk memasukkan makna dan kandungan al-Qur’an ke dalam hati, ini merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan manfaat dan nasehat dari petunjuk al-Qur’an. Dengan inilah Allâh Subhanahu wa Ta’ala memuji para hamba-Nya yang beriman dalam firman-Nya:
بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ ۚ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ
Sebenarnya, al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada (hati) orang-orang yang berilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim” [al-‘Ankabût/29: 49]
Upaya ini tidak lain adalah berusaha membaca al-Qur’an dengan memahami maknanya, merenungkan kandungnya dan menghayati petunjuknya, sebagaimana ucapan Imam Ibnul Qayyim yang kami nukilkan di atas, “ … namun semua (manfaat dan petunjuk al-Qur’an) itu bergantung pada pemahaman dan penghayatan terhadap kandungan makna al-Qur’an.”[14]
Oleh karena itu, orang-orang yang hati mereka hidup dengan iman kepada Allâh Azza wa Jalla , mereka inilah yang akan bertambah kuat dan sempurna keimanan dan kebaikan dalam diri mereka setiap kali mereka mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang merupakan bentuk dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla yang paling agung, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan hanya kepada Allâh mereka bertawakkal [al-Anfâl/8:2]
Maka orang yang beriman dengan benar adalah orang yang ketika berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla , hatinya menjadi takut dan tunduk kepada-Nya. Ini akan menjadikannya selalu menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya. Karena bukti terbesar rasa takut yang benar kepada Allâh adalah menjadikan orang tersebut menjauhi perbuatan dosa dan maksiat.
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah iman mereka”. Karena orang yang beriman ketika mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Qur’an, dia benar-benar mendengarkannya dengan seksama dan menghadirkan hatinya untuk merenungkan kandungannya. Ketika itulah imannya bertambah dan semakin kuat. Karena dengan merenungkan kandungannya dia akan mendapatkan penjelasan hal-hal yang tidak diketahuinya sebelumnya, mengingatkan akan kelalaiannya, menumbuhkan motivasi kebaikan dalam dirinya, semangat untuk mengejar kemuliaan di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan rasa takut terhadap siksa-Nya. Semua perkara ini akan menumbuhkan dan menyempurnakan keimanannya”[15]
TADABBUR (RENUNGANDAN HAYATI KANDUNGAN AL-QUR’AN!
Al-Qur’an diturunkan untuk dibaca dan direnungkan maknanya, serta dihayati petunjuknya, agar bisa menjadi sebab kebaikan bagi diri manusia, lahir dan batin. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab (al-Qur-an) yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran [Shâd/38:29]
Imam al-Hasan al-Bashri t berkata, “Demi Allâh! Bukanlah mentadabburi al-Qur’an dengan (hanya) dengan menghafal huruf-huruf (lafazh)nya tapi melalaikan hukum-hukum (kandungan)nya. Sampai-sampai salah seorang dari mereka berkata, “Aku telah membaca al-Qur’an) seluruhnya”, tapi tidak terlihat pada dirinya (aplikasi terhadap al-Qur’an) dalam akhlak dan perbuatannya.”[16]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Memperhatikan (merenungkan) al-Qur’an, artinya adalah memfokuskan mata hati terhadap kandungan maknanya serta menfokuskan pikiran untuk merenungkan dan memahaminya. Inilah maksud (tujuan) diturunkannya al-Qur’an, bukan hanya sekedar dibaca (lafazhnya) tanpa pemahaman dan penghayatan.”[17]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Inilah hikmah diturunkannya al-Qur’an, agar manusia merenungkan ayat-ayatnya, sehingga mereka bisa menyimpulkan ilmu-ilmunya, serta mengamati rahasia dan hikmahnya. Maka dengan merenungkan, menghayati dan memikirkan (kandungan) al-Qur’an berulang kali, akan diraih keberkahan dan kebaikannya. Ini menunjukkan anjuran untuk merenungkan (makna) al-Qur’an, bahkan ini termasuk amal (shaleh) yang paling utama dan sesungguhnya membaca al-Qur’an yang disertai perenungan terhadap maknanya lebih utama dari pada membacanya dengan cepat tanpa disertai perenungan.”[18]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Mentadabburi (merenungkan dan menghayati) al-Qur’an termasuk cara dan sarana terbesar untuk menumbuhkan dan menguatkan keimanan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab (al-Qur-an) yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran [Shâd/38:29]
Maka mengeluarkan keberkahan al-Qur’an, yang terpenting di antaranya adalah menumbuhkan keimanan, cara dan metodenya adalah dengan merenungkan dan menghayati ayat-ayatnya.”[19]
Inilah metode para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Tabi’in (generasi setelah para Sahabat Radhiyallahu anhum) ketika mempelajari dan mendalami al-Qur’an.
Imam Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin Habib as-Sulami al-Kûfi rahimahullah berkata, “Kami mempelajari al-Qur’an dari suatu kaum (para Sahabat Radhiyallahu anhum); ‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu, ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu dan selain mereka berdua. Mereka menyampaikan kepada kami bahwa dulunya ketika mereka mempelajari (al-Qur’an) dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, maka mereka tidak akan melewati ayat-ayat tersebut sampai memahami kandungan isinya, dalam ilmu dan amal. Mereka berkata, “kami (dulu) belajar al-Qur’an, memahami kandungannya dan pengamalannya secara keseluruhan.”[20]
Di dalam al-Qur’an, Allâh Azza wa Jalla menerangkan keburukan besar pada diri orang-orang munafik, yaitu hati mereka yang tertutup untuk menerima kebenaran. Karena mereka berpaling dari merenungkan dan menghayati kandungan al-Qur’an. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Apakah mereka tidak mentadabbur (merenungkan kandungan makna) al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci (tertutup untuk menerima kebenaran)? [Muhammad/47:24].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Arti ayat ini, apakah orang yang berpaling (munafik) itu tidak mentadabbur (merenungkan kandungan makna) al-Qur’an dan tidak menghayatinya dengan benar? Padahal kalau mereka (mau) mentadabburinya, maka al-Qur’an akan membimbing mereka kepada semua kebaikan, memperingatkan mereka dari semua keburukan, mengisi hati mereka dengan iman (kepada Allâh Azza wa Jalla ) dan jiwa meraka dengan keyakinan (yang benar). Sungguh al-Qur’an akan membawa mereka meraih kedudukan yang tinggi (di sisi Allâh Azza wa Jalla ) dan karunia yang sangat agung (dari-Nya). Al-Qur’an akan menjelaskan kepada mereka jalan yang mengantarkan kapada (keridhaan) Allâh, kepada surga disertai (penjelasan tentang) hal-hal yang menyempurnakan kenikmatannya atau hal-hal yang menghalangi untuk meraihnya. Al-Qur’an juga menjelaskan jalan yang mengantarkan kapada azab (neraka) dan hal-hal yang harus dijauhi. Al-Qur’an akan mengenalkan mereka kepada Allâh (dengan menjeaskan) nama-nama-Nya (yang maha indah), sifat-sifat-Nya (yang maha sempurna) dan kebaikan-Nya (yang maha agung). Al-Qur’an akan membangkitkan kerinduan mereka untuk (meraih) pahala yang besar (di sisi-Nya) dan menjadikan mereka takut akan siksaan-Nya yang pedih.”[21]
SIAPAKAH AHLI AL-QUR’AN YANG HAKIKI?
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Orang-orang yang telah kami beri (turunkan) al-kitab (al-Qur’an) kepada mereka, mereka mentilawah (membaca)nya dengan tilawah yang sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi (dunia dan akhirat)[Al-Baqarah/2:121]
Ketika menjelaskan firman Allâh Azza wa Jalla di atas, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tilâwah al-Qur’an meliputi tilâwah (membaca) lafazhnya dan tilâwah (memahami) makna (kandungan)nya. Tilâwah makna al-Qur-an lebih mulia (utama) daripada sekedar tilâwah lafazhnya. Dan orang-orang yang memahami kandungan al-Qur-an merekalah ahli al-Qur-an, yang dipuji di dunia dan akhirat, karena merekalah yang ahli sejati dalam membaca dan mengikuti (petunjuk) al-Qur’an.”[22]
Inilah makna hadits yang kami sebutkan di awal tulisan ini:
Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ، أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ
“Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi ‘ahli’ Allâh”. Para Sahabat g bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Siapakah mereka?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah ahli al-Qur’an, (merekalah) ahli (orang-orang yang dekat dan dicintai) Allâh dan diistimewakan di sisi-Nya
Ahli al-Qur’an adalah orang-orang beriman yang berusaha menghafalnya dan membacanya dengan benar, serta memahami dan mengamalkan kandungannya, jadi bukan hanya sekedar membaca dan menghafal lafazhnya.[23]
Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela dan melaknat orang-orang Khawarij, padahal banyak di antara mereka yang menghafal dan banyak membaca al-Qur’an, tapi mereka tidak memahaminya dan tidak mengambil manfaat dari petunjuknya.[24] Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ
Mereka (orang-orang Khawarij) pandai membaca (menghafal) al-Qur’an tapi tidak melampaui tenggorokan mereka[25]
Inilah makna ucapan dari salah seorang ulama Salaf yang berkata, “Terkadang ada orang yang (pandai) membaca al-Qur’an, tapi al-Qur’an (justru) melaknat dirinya”[26].
Dalam hal ini, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tujuan dari membaca al-Qur’an adalah untuk memahami, merenungkan, mendalami (kandungan maknanya) dan mengamalkannya. Adapun membaca dan menghafalnya adalah sarana untuk (memahami) isinya, sebagaimana ucapan salah seorang Ulama salaf: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, maka jadikanlah bacaannya sebagai amalan. Oleh karena itu, (yang disebut) ahli al-Qur-an adalah orang-orang yang memahami isinya dan mengamalkan (petunjuk)nya, meskipun mereka tidak menghafalnya di luar kepala. Adapun orang yang menghafal al-Qur’an, tapi tidak memahami (kandungan)nya dan tidak mengamalkan petnjuknya, maka dia bukanlah ahli al-Qur-an, meskipun dia mampu menegakkan huruf-hurufnya (lafazhnya) seperti tegaknya anak panah…Juga dikarenakan keimanan adalah amalan yang paling utama, sedangkan memahami dan merenungkan al-Qur’an inilah yang membuahkan iman. Adapun hanya sekedar membacanya tanpa memahami dan merenungkannya, maka ini bisa dilakukan oleh orang yang shaleh maupun jahat, dan orang yang beriman maupun munafik, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ، رِيحُهَا طَيِّبٌ وَلَا طَعْمَ لَهَا
Perumpamaan orang munafik yang membaca al-Qur’an adalah seperti (tumbuhan) raihanah, baunya harum tetapi rasanya pahit[27]
PENUTUP
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk lebih semangat dan bersungguh-sungguh dalam membaca al-Qur’an, berusaha menghafalnya dan memahami kandungan maknanya, untuk memudahkan kita – dengan izin Allâh Azza wa Jalla – merenungkan dan menghayati isinya yang merupakan sebab utama untuk menumbuhkan dan menyempurnakan keimanan kita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang agung [al-Isrâ’/17:9].
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia k menjadikan kita semua sebagai ahli al-Qur’an. Sesungguhnya Dia k maha mendengar lagi maha mengabulkan do’a.
Footnote
[1] HR Ahmad, 3/127; Ibnu Mâjah, 1/78; dan al-Hâkim, 1/743; Hadits ini dinyatakan hasan oleh Imam al-‘Iraqi (Takhrîj al-Ihyâ 1/222) dan as-Sakhawi (Kasyful khafâ’, hlm. 292), dan dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani.
[2] Lihat kitab Faidhul Qadîr , 3/67
[3] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 825
[4] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/51
[5] HSR. Al-Bukhâri, no. 4739
[6] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (3/499).
[7] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/165
[8] Kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/74
[9] Lihat kitab Tafsir Ibni Katsîr, 2/553 dan Fathul Qadîr, 2/656
[10] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 454
[11] Kitab Ighâtsatul Lahfân, 1/44
[12] Kitab al-Fawâ-id, hlm. 3
[13] Kitab al-Fawâ-id, hlm. 3
[14] Kitab Ighâtsatul Lahfân, 1/44
[15] Lihat keterangan Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 315
[16] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibni Katsîr, 4/43
[17] Kitab Madârijus Sâlikîn, 1/451
[18] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 712
[19] Kitab at-Taudhîh wal Bayân li Syajaratil îmân, hlm. 51
[20] Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Daqâ-iqut Tafsîr (2/227) dan adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâmin Nubalâ’, 4/269
[21] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 788
[22] Kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/42
[23] Lihat kitab Faidhul Qadîr, 3/67
[24] Lihat kitab Syarhu Shahîh Muslim, 7/159
[25] HSR. Al-Bukhâri, 3/1219 dan Muslim , no. 1064
[26] Dinukil oleh Imam Abul Fadhl al-Alusy dalam tafsir beliau Rûhul Ma’â-ni, 22/192
[27] Kitab Zâdul Ma’âd, 1/323. Hadits di atas riwayat al-Bukhari, no. 5111 dan Muslim, no. 797

Sumber: https://almanhaj.or.id/6307-jadilah-ahli-alquran.html

Celaan Manusia Terhadap Nafsu..

Surat al-Qiyâmah diturunkan Allah di Makkah setelah surat al-Qâri’ah [1] . Tema besar surat ini mengungkapkan kedahsyatan hari kiamat. ...